-->

Keadilan Kasus Nenek Asyani

Kasus Asyani adalah kasus yang mungkin akan terjadi pada masyarakat yang bermukim di dalam atau di sekitar kawasan hutan atau mungkin terhadap kita juga yang memiliki meubel dari Kayu jati, karena tidak bisa menunjukkan asal kayunya apakah legal atau curian.

Berdasarkan informasi yang saya baca di beberapa surat kabar, nenek Asyani bercerita dia memiliki lahan 700 meter persegi di Dusun Secangan, Desa/Kecamatan Jatibanteng. Lahan itu ditanami pohon jati dan jagung. Namun, pada 2010, lahan tersebut dia jual ke keponakannya seharga Rp 4 juta. Dia terpaksa menjual lahan itu karena letaknya jauh dari rumah, sekitar 7 kilometer.

Sebelum dijual, kata Asyani, Sumardi (suami nenek Asyani) menebang tujuh kayu jati di ladang tersebut. Tujuh batang kayu jati berdiameter sekitar 10 sentimeter itu ia simpan di kolong dipan. Setahun kemudian, Sumardi meninggal dunia. Ternyata kayu-kayu jati itu berujung penjara.

Pada 7 Juli 2014, polisi hutan Desa Jatibanteng menyita kayu-kayu tersebut. Asyani dianggap mencuri di kawasan hutan produksi. Dia bersama tiga orang lainnya, yakni Ruslan, Sucipto, dan Abdus Salam, akhirnya dijebloskan ke penjara pada 15 Desember 2014.

Sementara di surat kabar lain diberitakan bahwa kayu yang dicuri di areal Perum Perhutani yang masih ada tunggaknya berdiameter 115 cm dan 110 cm. Apabila dilihat dari dari diameter kayu yang dipermasalahkan ada perbedaan yang sangat menyolok, di satu pihak dari pengakuan nenek Asyani diameter kayu yang di tebang oleh suaminya 10 cm (15 cm di berita surat kabar lain), sementara bukti tunggak yang ditinggal pencuri berdiameter 110 cm-115 cm, hal ini yang perlu dilakukan lacak balak (penelusuran asal usul) di lapangan.

Terlepas dari perbedaan diameter, sesungguhnya yang terpenting adalah dokumen yang menyertai bersama-sama kayu tersebut, apakah ada dokumen atau tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang berlaku di Indonesia ( Permenhut P.55 tahun 2006 jo. P.63 tahun 2006 jo P. 8 tahun 2009 jo. P.45 tahun 2009 yang terakhir P.41 tahun 2014 dan P.42 tahun 2014).

Kalau dilihat dari alur cerita penangkapan nenek Asyani, bahwa kayu yang dipermasalahkan Perum Perhutani pada saat kayu tersebut dibawa ke tempat pengolahan tidak disertai dengan dokumen angkutan, memang kalau mengacu pada Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan, pada pasal 12 huruf b. disebutkan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, sedangkan pada huruf f. disebutkan mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan.

Memang benar kalau dari segi peraturan perundang-undangan setiap orang yang melakukan penebangan di kawasan hutan secara tidak sah dan membawa kayu tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif (pasal 82 UU nomor 18 tahun 2013), tetapi penerapan Undang-Undang tersebut tidak boleh sepotong-sepotong harus menyeluruh, misalnya apakah dari segi penyidikan dan penuntutan sudah sesuai dengan pasal 29 sampai dengan pasal 53, apakah hakim yang menangani perkara dua diantaranya adalah hakim ad hoc yang diangkat oleh Presiden, kemudian juga perlu dipertanyakan apakah Undang-Undang nomor 18 tahun 2013 bisa dijadikan acuan hukum sementara Peraturan Pemerintahnya sebagai penjabaran undang-undang tersebut belum diterbitkan demikian juga kewenangan lembaga yang menangani yaitu lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang sampai saat ini belum di bentuk oleh Presiden sesuai amanat undang-undang tersebut.

Kembali ke barang bukti kayu 7 potong yang menurut pengakuan nenek Asyani diambil dari lahan miliknya yang ada bukti alas titelnya, hal ini kalau diterapkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P. 30 tahun 2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak, maka kepemilikan kayu tersebut sah, hanya saja pada saat diangkut tidak dilengkapi dengan Nota angkutan penggunaan Sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa Nota angkutan Penggunaan Sendiri digunakan dalam peredaran kayu hutan hak semua jenis kayu untuk keperluan sendiri atau fasilitas umum.

Selanjutnya pada pasal 19 (Pelanggaran dan Sanksi) ayat (2) dalam hal pengangkutan hasil hutan hak tidak dilengkapi Nota Angkutan atau Nota Angkutan Penggunaan Sendiri atau SKAU (Surat Keterangan Asal Usul), maka terhadap hasil hutan tersebut dilakukan pelacakan terhadap kebenaran atau asal usul hasil hutan hak, selanjutnya pasal (3) pelacakan sebagimana dimaksud pada ayat (2) sepanjang asal usul hasil hutan dapat dibuktikan keabsahannya, dikenakan sanksi administratif berupa pembinaan melalui teguran/peringatan tertulis dari Kepala Dinas Kabupaten/kota berdasar laporan petugas kehutanan yang menerima Nota angkutan atau Nota Angkutan Penggunaan Sendiri atau SKAU di tempat tujuan.

Berdasarkan pasal 8 ayat (1) Nota angkutan Penggunaan Sendiri dibuat oleh pemilik hasil hutan hak dengan menggunakan format lampiran II. Artinya kalau mengacu pada Peraturan tersebut nenek Asyani hanya diberi teguran tertulis karena mengangkut kayu tidak dilengkapi dokumen Nota Angkutan Penggunaan Sendiri yang jelas beliau tidak mengetahui aturan tersebut.

0 Response to "Keadilan Kasus Nenek Asyani"

Post a Comment

Mohon berkomentar yang sesuai dengan pembahasan artikel. Jangan gunakan link aktif, dilarang promosi/spam gak jelas!
Komentar kamu bakal dimoderasi sebelum diterbitkan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel