Tradisi Ma’nene Menyeramkan di Tana Toraja
January 25, 2015
Add Comment
Di Tana Toraja ada sebuah ritual atau kebiasaan dalam prosesi pemakaman. Cukup unik dan, mungkin menyeramkan karena mayat yang telah disemayamkan bertahun-tahun di sebuah tebing tinggi dan kuburan batu, tiba-tiba jasadnya bangkit.
Mayat itu kemudian berjalan mencari rumahnya. Setiba di rumah, dia akan tidur lagi. Cerita mayat berjalan ini sudah dikenal masyarakat Toraja sejak jaman leluhur. Hingga kini ritual tersebut masih ada dan bisa dilihat dengan mata telanjang.
Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Di tengah balai-balai rumah, warga menggelar sebuah ritual. Mereka menyebutnya: Ma’nene. Sebuah ritual untuk mengenang leluhur, saudara dan handai taulan yang sudah meninggal. Dari sinilah misteri budaya Tana Toraja terkuak.
Seorang wanita tua terlihat dikelilingi warga. Semua orang memandang serius. Siapa wanita itu? Entahlah.
Dilihat dari belakang, dia usianya kira-kira 60-70 tahun. Sangat tua. Rambutnya tergerai dengan lebat. Rambutnya sudah ditumbuhi uban. Dia sama sekali tidak bergerak. Kedua tangannya disilangkan ke depan. Wanita tua itu mengenakan pakaian kegemarannya: warna biru.
Seluruh kulitnya terlihat kusut. Ada warna putih kecoklat-coklatan. Kelihatannya dulu dia pernah mengalami kebakaran sehingga kulitnya menjadi begitu. Yang aneh, meski dikelilingi puluhan orang, wanita itu tetap tak bergeming. Mematung. Tidak menoleh atau berbicara. Setelah didekati, alamak, ternyata dia adalah sesosok mayat!
Nah, mayat tadi, adalah mayat seorang ibu sekaligus nenek yang telah meninggal selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, mayat tersebut masih utuh. Apakah dia dibalsem? Tidak. Kisah tentang mayat utuh ini sudah ada sejak tahun 1905.
Mayat-mayat utuh tersebut pertama ditemukan di sebuah gua di Desa Sillanang. Saat ditemukan mayat tersebut tidak busuk, pun sampai sekarang. Uniknya, mayat untuh itu tidak dibalsem maupun diberi ramuan. Alami.
Menurut anak ketua adat setempat, kemungkinan ada semacam zat di gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan mayat manusia.
Dikisahkan di tengah perburuan, Pong Rumasek, warga Toraja, menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia. Jasad itu tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Kondisinya mengenaskan.
Tubuhnya tinggal tulang belulang. Hati Pong Rumasek tergugah. Ia ingi merawatnya. Jasad itu dibungkus dengan baju yang dipakainya. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek kemudian melanjutkan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali Pong mengincar binatang buruan, dia selalu mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya berlimpah.
Sejak itu, setiap kali berburu ke hutan, Pong selalu menemui arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut sering diajak berburu menggiring binatang.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya.
Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, upacara pemakaman untuk menghormati leluhur, tak lain mendiang Pong Rumasek.
Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene, status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah.
Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin lagi.
Ritual Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun sekali. Ini merupakan satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa.
Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading.
Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu.
Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Seperti yang dilakukan keluarga besar Tumonglo. Bagi keluarga Tumonglo, ritual Ma`nene adalah sakral dan wajib dilakukan. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi.
Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu–diturunkan.
Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazahpun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan.
Peti kusam itu berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian.
Sejatinya, kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan.
Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.
Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Patane, semacam kuburan batu atau rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan.
Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya.
Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah patane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.
Mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan tebing atau kuburan batu (patane)–setelah bertahun-tahun berlalu–kemudian diangkat dan dikeluarkan. Di situ para kerabat keluarga akan menangis. Tapi ada tradisi kuno yang dilakukan warga Toraja, selain mengeluarkan mayat, mereka juga membangkitkan mayat. Lebih unik lagi, mayat tersebut bisa disuruh berjalan pulang ke rumah. Hii…ngeri...
Yah, inilah fakta yang terjadi di Tana Toraja. Dan, mungkin hanya ada di tempat ini. Jika selama ini mayat berjalan hanya bisa ditonton di film-film yang tidak nyata, maka tradisi mayat berjalan di Tanah Toraja benar-benar ada di depan mata dan sangat nyata.
Cerita mengenai mayat berjalan banyak versinya. Versi yang pertama menyebutkan, dulu, ratusan tahun sebelumnya pernah terjadi perang saudara di Tana Toraja. Perang itu melibatkan orang-orang Toraja Barat dan Toraja Timur.
Dalam peperangan tersebut, Toraja Barat kalah telak. Sebagian besar tewas. Tetapi pada saat akan pulang kampung, seluruh mayat Toraja Barat bangkit dari kematin. Dan, berjalan. Sedang orang Toraja Timur, walaupun hanya sedikit yang tewas, mereka tetap menggotong mayat saudara mereka yang mati. Perang itu dianggap seri.
Sementara versi kedua, mayat berjalan kaku dan agak tersentak-sentak itu sebenarnya sudah mengakar dari kehidupan masa lalu. Dulu, orang-orang Toraja biasa menjelajah daerah-daerah yang bergunung-gunung. Di sana banyak ceruk. Dan kemana-mana mereka hanya dengan berjalan kaki.
Nah, supaya mayat tidak sampai ditinggal di daerah yang tidak dikenal (orang Toraja sangat menghormati roh orang mati), maka dengan satu ilmu gaib (semacam hipnotis), mayat-mayat itu kemudian dapat berjalan pulang.
Cara demikian dilakukan supaya mayat tidak menyusahkan manusia lain. Sebab akan sangat tidak mungkin menggotong terus-menerus jenazah sepanjang perjalanan yang makan waktu berhari-hari. Mayat berjalan itu baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannya di dalam rumahnya sendiri.
Kendati demikian masih ada satu pantangan, yakni mayat yang berjalan tidak boleh disentuh. Kalau disentuh, hipnotisnya hilang.
Pada keturunan selanjutnya, orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya. Begitu pula saat mereka ingin pulang atau dikangeni keluarganya.
Di rumah, memang telah disediakan satu tempat khusus untuk mayat-mayat tersebut. Bila mereka (mayat) pulang, mereka bisa menghuni rumah itu. Setiba di rumah mereka akan tidur lagi. Tapi jika mau kembali ke rumah sebelumnya, yakni patane, mereka akan berjalan lagi.
Fenomena mayat berjalan juga dituturkan, Ardiansyah (28), warga asli Tanah Toraja. Dia mengaku pernah pernah menyaksikan sendiri dengan mata telanjang, ada mayat berjalan sendiri.
Setelah mayat dimandikan, lanjut Ardiansyah, mayat itu kemudian diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan ke peti jenasah. Pada malam ketiga, seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti.
Ardiansyah menceritakan, saat itu dia dan temannya kontan berteriak histeris. Saking takutnya mereka langsung berlari menuruni tangga.
Keesokan harinya, kejadian tersebut membuat seluruh warga heboh. Dan informasi yang diperoleh Ardiansyah, Pongbarrak sengaja melakukan ritual tersebut karena dia ingin menghormati ibunya.
Cuma pada malam itu, dia tidak ingin memindahkan ibunya. Pongbarrak cuma berusaha mempraktekkan ilmunya. Sebab konon, jika sang ibu sudah berada di kuburan batu, sewaktu-waktu dia akan menarik ibunya kembali untuk diajak pulang. Tentunya dengan cara berjalan sendiri.
Pada zaman sekarang, diakui Ardiansyah, memang hal itu nyaris tidak pernah terjadi, kecuali orang-orang Toraja yang berada di pedalaman.
Cuma, yang dibingungi Ardiansyah, adalah mayat berjalan. Menurutnya tradisi itu bukan sembarangan dilakukan oleh orang Tanah Toraja. Mereka yang bisa melakukan itu sebelumnya memiliki ilmu tertentu yang diturunkan dari guru-gurunya atau sesepuh adat.
Ardiansyah menambahkan, dia dulunya juga pernah diajari kakeknya. Tapi karena membangkitkan mayat dirasa ngeri, maka dia urung mempelajari ilmu tersebut.
Biasanya, orang yang memiliki ilmu membangkitkan orang mati, mereka awalnya mempraktekkan pada binatang seperti ayam atau kerbau yang diadu dalam keadaan leher terputus.
Meski begitu, tradisi Tanah Toraja menjalankan mayat dari rante (tempat persemayaman) ke patane, diakui Ardiansyah, hanya bisa dilakukan oleh masyarakat Toraja. Mayat-mayat tersebut dapat berjalan karena doa-doa yang dipanjatkan ke leluhur dan arwah almarhum.
Sayang, ritual ini perlahan mulai ditinggalkan. Sebab masyarakat Toraja telah banyak yang memeluk agama samawi. “Ritual Ma’nene sebenarnya tidak hilang, cuma jarang dipakai saja. Tapi bila mau masuk ke pelosok desa, ritual mayat berjalan masih tetap dijalankan. Sebab warga Toraja masih percaya dengan hal-hal mistik dan karena mereka ingin menjaga kekhasan budaya leluhur agar tidak hilang.
Mayat itu kemudian berjalan mencari rumahnya. Setiba di rumah, dia akan tidur lagi. Cerita mayat berjalan ini sudah dikenal masyarakat Toraja sejak jaman leluhur. Hingga kini ritual tersebut masih ada dan bisa dilihat dengan mata telanjang.
Seorang wanita tua terlihat dikelilingi warga. Semua orang memandang serius. Siapa wanita itu? Entahlah.
Dilihat dari belakang, dia usianya kira-kira 60-70 tahun. Sangat tua. Rambutnya tergerai dengan lebat. Rambutnya sudah ditumbuhi uban. Dia sama sekali tidak bergerak. Kedua tangannya disilangkan ke depan. Wanita tua itu mengenakan pakaian kegemarannya: warna biru.
Seluruh kulitnya terlihat kusut. Ada warna putih kecoklat-coklatan. Kelihatannya dulu dia pernah mengalami kebakaran sehingga kulitnya menjadi begitu. Yang aneh, meski dikelilingi puluhan orang, wanita itu tetap tak bergeming. Mematung. Tidak menoleh atau berbicara. Setelah didekati, alamak, ternyata dia adalah sesosok mayat!
Ma’nene, begitu kata orang Toraja. Apa itu? Itu adalah mayat yang telah diawetkan. Bagi masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu yang disakralkan. Bagi mereka, kematian harus dihormati. Mereka yang mati biasanya diletakkan di dalam gua. Selama bertahun-tahun didiamkan di sana.
Nah, mayat tadi, adalah mayat seorang ibu sekaligus nenek yang telah meninggal selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, mayat tersebut masih utuh. Apakah dia dibalsem? Tidak. Kisah tentang mayat utuh ini sudah ada sejak tahun 1905.
Mayat-mayat utuh tersebut pertama ditemukan di sebuah gua di Desa Sillanang. Saat ditemukan mayat tersebut tidak busuk, pun sampai sekarang. Uniknya, mayat untuh itu tidak dibalsem maupun diberi ramuan. Alami.
Menurut anak ketua adat setempat, kemungkinan ada semacam zat di gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan mayat manusia.
“Kalau saja ada ahli geologi dan kimia yang mau membuang waktu menyelidiki tempat itu, sepertinya teka teki gua Sillanang dapat dipecahkan,” katanya.
Awal Mula Tradisi Ma’nene
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla.Tubuhnya tinggal tulang belulang. Hati Pong Rumasek tergugah. Ia ingi merawatnya. Jasad itu dibungkus dengan baju yang dipakainya. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek kemudian melanjutkan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali Pong mengincar binatang buruan, dia selalu mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya berlimpah.
Sejak itu, setiap kali berburu ke hutan, Pong selalu menemui arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut sering diajak berburu menggiring binatang.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya.
Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, upacara pemakaman untuk menghormati leluhur, tak lain mendiang Pong Rumasek.
Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga.
Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene, status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah.
Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin lagi.
Ritual Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun sekali. Ini merupakan satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa.
Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading.
Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu.
Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Seperti yang dilakukan keluarga besar Tumonglo. Bagi keluarga Tumonglo, ritual Ma`nene adalah sakral dan wajib dilakukan. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi.
Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu–diturunkan.
Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazahpun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan.
Peti kusam itu berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian.
Sejatinya, kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan.
Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.
Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.
Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Patane, semacam kuburan batu atau rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan.
Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya.
Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah patane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.
Mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan tebing atau kuburan batu (patane)–setelah bertahun-tahun berlalu–kemudian diangkat dan dikeluarkan. Di situ para kerabat keluarga akan menangis. Tapi ada tradisi kuno yang dilakukan warga Toraja, selain mengeluarkan mayat, mereka juga membangkitkan mayat. Lebih unik lagi, mayat tersebut bisa disuruh berjalan pulang ke rumah. Hii…ngeri...
Yah, inilah fakta yang terjadi di Tana Toraja. Dan, mungkin hanya ada di tempat ini. Jika selama ini mayat berjalan hanya bisa ditonton di film-film yang tidak nyata, maka tradisi mayat berjalan di Tanah Toraja benar-benar ada di depan mata dan sangat nyata.
Cerita mengenai mayat berjalan banyak versinya. Versi yang pertama menyebutkan, dulu, ratusan tahun sebelumnya pernah terjadi perang saudara di Tana Toraja. Perang itu melibatkan orang-orang Toraja Barat dan Toraja Timur.
Dalam peperangan tersebut, Toraja Barat kalah telak. Sebagian besar tewas. Tetapi pada saat akan pulang kampung, seluruh mayat Toraja Barat bangkit dari kematin. Dan, berjalan. Sedang orang Toraja Timur, walaupun hanya sedikit yang tewas, mereka tetap menggotong mayat saudara mereka yang mati. Perang itu dianggap seri.
Sementara versi kedua, mayat berjalan kaku dan agak tersentak-sentak itu sebenarnya sudah mengakar dari kehidupan masa lalu. Dulu, orang-orang Toraja biasa menjelajah daerah-daerah yang bergunung-gunung. Di sana banyak ceruk. Dan kemana-mana mereka hanya dengan berjalan kaki.
“Dari zaman purba sampai sekarang tetap begitu. Mereka tidak mengenal pedati, delman, gerobak atau semacamnya. Dalam perjalanan itu, banyak dari mereka yang jatuh sakit dan mati,” cerita warga setempat.
Nah, supaya mayat tidak sampai ditinggal di daerah yang tidak dikenal (orang Toraja sangat menghormati roh orang mati), maka dengan satu ilmu gaib (semacam hipnotis), mayat-mayat itu kemudian dapat berjalan pulang.
Cara demikian dilakukan supaya mayat tidak menyusahkan manusia lain. Sebab akan sangat tidak mungkin menggotong terus-menerus jenazah sepanjang perjalanan yang makan waktu berhari-hari. Mayat berjalan itu baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannya di dalam rumahnya sendiri.
Kendati demikian masih ada satu pantangan, yakni mayat yang berjalan tidak boleh disentuh. Kalau disentuh, hipnotisnya hilang.
Pada keturunan selanjutnya, orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya. Begitu pula saat mereka ingin pulang atau dikangeni keluarganya.
Di rumah, memang telah disediakan satu tempat khusus untuk mayat-mayat tersebut. Bila mereka (mayat) pulang, mereka bisa menghuni rumah itu. Setiba di rumah mereka akan tidur lagi. Tapi jika mau kembali ke rumah sebelumnya, yakni patane, mereka akan berjalan lagi.
Fenomena mayat berjalan juga dituturkan, Ardiansyah (28), warga asli Tanah Toraja. Dia mengaku pernah pernah menyaksikan sendiri dengan mata telanjang, ada mayat berjalan sendiri.
“Kejadiannya sekitar tahun 1992. Waktu itu saya baru kelas 3 SD. Pada saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya meninggal. Seperti adat orang Toraja, sang mayat tidak langsung dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat rambu solo atau penguburan,” jelas Ardiansyah.
Setelah mayat dimandikan, lanjut Ardiansyah, mayat itu kemudian diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan ke peti jenasah. Pada malam ketiga, seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti.
“Saat itu saya duduk di teras rumah, tiba-tiba ada kegaduhan dalam rumah. Semua ibu-ibu berteriak. Karena penasaran, saya berusaha melongok ke dalam rumah. Dan astaga, mayat ibu Pngbarrak berjalan keluar dari kamar,” kenang Ardiansyah.
Ardiansyah menceritakan, saat itu dia dan temannya kontan berteriak histeris. Saking takutnya mereka langsung berlari menuruni tangga.
“Saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil berteriak histeris. Setelah itu saya langsung dibawa pulang ke rumah dan saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya,” cerita Ardiansyah yang mengaku baru pertama kali melihat mayat berjalan.
Keesokan harinya, kejadian tersebut membuat seluruh warga heboh. Dan informasi yang diperoleh Ardiansyah, Pongbarrak sengaja melakukan ritual tersebut karena dia ingin menghormati ibunya.
Cuma pada malam itu, dia tidak ingin memindahkan ibunya. Pongbarrak cuma berusaha mempraktekkan ilmunya. Sebab konon, jika sang ibu sudah berada di kuburan batu, sewaktu-waktu dia akan menarik ibunya kembali untuk diajak pulang. Tentunya dengan cara berjalan sendiri.
Pada zaman sekarang, diakui Ardiansyah, memang hal itu nyaris tidak pernah terjadi, kecuali orang-orang Toraja yang berada di pedalaman.
“Generasi muda seperti saya, malah tidak tahu soal itu. Yang kami tahu, kalau orang mati itu akan diletakkan di kuburan batu. Mereka bisa awet hingga bertahun-tahun,” jelas Ardiansyah yang mengaku pernah memakamkan keluarganya di kuburan batu.
Cuma, yang dibingungi Ardiansyah, adalah mayat berjalan. Menurutnya tradisi itu bukan sembarangan dilakukan oleh orang Tanah Toraja. Mereka yang bisa melakukan itu sebelumnya memiliki ilmu tertentu yang diturunkan dari guru-gurunya atau sesepuh adat.
“Itu ilmu kuno. Di jaman sekarang tak banyak orang bisa melakukan itu,” kata Ardiansyah.
Ardiansyah menambahkan, dia dulunya juga pernah diajari kakeknya. Tapi karena membangkitkan mayat dirasa ngeri, maka dia urung mempelajari ilmu tersebut.
Biasanya, orang yang memiliki ilmu membangkitkan orang mati, mereka awalnya mempraktekkan pada binatang seperti ayam atau kerbau yang diadu dalam keadaan leher terputus.
“Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong kepalanya dan dikuliti habis pun, jika diberi mantera-mantera atau ilmu gaib Tanah Toraja, mereka masih bisa dibuat berdiri dan berlari kencang, mengamuk ke sana sini,” kutip Ardiansyah yang mengaku bangga dengan adat leluhurnya.
Meski begitu, tradisi Tanah Toraja menjalankan mayat dari rante (tempat persemayaman) ke patane, diakui Ardiansyah, hanya bisa dilakukan oleh masyarakat Toraja. Mayat-mayat tersebut dapat berjalan karena doa-doa yang dipanjatkan ke leluhur dan arwah almarhum.
Sayang, ritual ini perlahan mulai ditinggalkan. Sebab masyarakat Toraja telah banyak yang memeluk agama samawi. “Ritual Ma’nene sebenarnya tidak hilang, cuma jarang dipakai saja. Tapi bila mau masuk ke pelosok desa, ritual mayat berjalan masih tetap dijalankan. Sebab warga Toraja masih percaya dengan hal-hal mistik dan karena mereka ingin menjaga kekhasan budaya leluhur agar tidak hilang.
0 Response to "Tradisi Ma’nene Menyeramkan di Tana Toraja"
Post a Comment
Mohon berkomentar yang sesuai dengan pembahasan artikel. Jangan gunakan link aktif, dilarang promosi/spam gak jelas!
Komentar kamu bakal dimoderasi sebelum diterbitkan.